Sabtu, 22 Oktober 2016

Buku Catatan Seo

Yokohama, 1942.

Adalah sebuah kota yang terletak sangat dekat dari pantai. Kapal-kapal perang ataupun kapal yang membawa hasil tangkapan ikan sering berlabuh di Yokohama. Sebuah kota yang sangat tenteram jikalau kau membayangkan betapa indahnya suasana kota yang berada di dekat pantai.

Masalahnya, Yokohama tidak setenteram seperti yang banyak orang bayangkan. Tahun ini adalah tahun 1942, Jepang ikut terlibat dalam perang dunia ke-2. Pelabuhan Yokohama sangat dibutuhkan. Di dekatnya, banyak terdapat kapal perang. Banyak juga polisi militer yang muncul di sekitar pelabuhan Yokohama. Mengingat Yokohama kota yang sangat penting, maka dari itu dibuatlah markas polisi militer di Yokohama.

Bukanlah perang dunia yang sedang dihadapi penduduk di sekitar Yokohama. Tetapi, terkait kasus hilangnya kapal penangkap ikan terbesar, “Ichiyo”. Kapal penangkap ikan itu diduga hilang lebih dari lima bulan lamanya. Nahkoda kapal itu, Jun Ishida tidak dapat dihubungi. Kapal itu telah menghilang entah kemana.

Di samping itu, sempat terjadi pertempuran hebat di sekitar bibir pantai sebelah timur Yokohama. Jauh dari pelabuhan Yokohama, pertempuran itu terjadi. Pertempuran antara pihak kepolisian militer dengan perompak kapal yang baru saja tiba di Jepang.

Adalah kapten Miyoshi, petinggi kepolisian militer itu baru saja tiba di lokasi pertempuran. Ia melihat mayat dari anggota perompak dan mayat dari sebagian anggota polisi militer bergelimpangan. Kapten Miyoshi langsung menutup hidung, tak tahan akan bau busuk yang ditimbulkan oleh para mayat. Darah mereka masih berceceran. Apalagi belum ada turun hujan yang bisa membersihkan bekas darah para mayat tersebut.

Miyoshi melangkah. Menendangi mayat-mayat para perompak sesekali memaki dengan keras. Miyoshi menatap sekeliling pantai suasana nampak suram akibat bekas pertempuran. Seharusnya ia menghubungi anggota yang tersisa untuk membersihkan semua ini. Masalahnya, tempat pertempuran tersebut sangat jauh dari pelabuhan pusat Yokohama. Apalagi medan yang penuh batu-batu karang besar dan masih terlihat liar menambah pantai tersebut seperti pantai yang terkutuk.

Pada akhirnya, kedua mata kapten Miyoshi berhenti pada sebuah kapal besar yang rusak dan terdampat tak jauh dari mayat-mayat perompak. Miyoshi mendekat ke arah kapal yang sudah rusak tersebut. Ia melongok ke dalam. Kapal itu telah rusak luar dan dalam. Bagian sampingnya berlubang. Lubang yang cukup besar. Miyoshi menyelinap masuk ke dalam untuk melihat isi kapal.

Miyoshi mengira jika kapal tersebut adalah kapal nelayan biasa yang terdampar dan diserbu olek kawanan perompak. Namun, dugaan itu salah. Di dalamnya, terlihat mayat awak kapal yang bergelimpangan. Bau busuk semakin menyengat. Miyoshi semakin menutup hidungnya.

Banyak darah berceceran di dalam kapal itu. hal yang paling mengejutkannya adalah mayat seorang awak kapal yang terkapar di lantai. Di tangan kanannya, terdapat sebuah buku catatan kecil.

Miyoshi mengenal dengan jelas siapa mayat tersebut. Diambilnya buku catatan tersebut. “Tomoya Seo.” Miyoshi mengeja nama yang ada di sampul depan buku catatan tersebut.

Tomoya seo, ia kenal betul orang itu. ia adalah orang yang pernah menjadi bawahan Miyoshi sewaktu masuk ke polisi militer. Setelah tak tahan akan beratnya aktivitas di polisi militer, Seo akhirnya keluar. Miyoshi tak menyangka, jika Seo bekerja sebagai bagian dari awak kapal dan mati secara mengenaskan.

Setelah dilihat-lihat, Miyoshi baru menyadari sesuatu. Bahwa kapal tersebut bukanlah kapal sembarangan. Miyoshi keluar untuk memastikan sesuatu.

Mata Miyoshi terbelalak. Ternyata benar dugaannya. Kapal tersebut bukanlah kapal biasa. Itu adalah kapal penangkap ikan terbesar yang sedang diberitakan menghilang. Miyoshi tidak menyangka jika ia menemukan kapal besar itu yang dalam keadaan rusak parah dengan seluruh awak kapal yang mati di dalamnya.

Ketika ia menemukan kapal penangkap ikan Ichiyo dan sebuah buku catatan, ia langsung berlari. Bergegas ke kantor atasannya. Meskipun Miyoshi adalah seorang kapten, tapi ia masih mempunyai atasan. Yaitu Tuan Jistui.

Jitsui adalah pemimpin kepolisian militer yang memimpin daerah Yokohama dan seluruh pelabuhan di seluruh Jepang. Miyoshi bergegas ke tempat Jitsui. Untungnya, Jitsui sedang berada di Yokohama dan tidak berada di daerah lain. Maka dari itu, Miyoshi cepat-cepat memberitahukan kepada Jitsui tentang kapal penagkap ikan yang hilang tersebut.

Sesampainya di kantor Jitsui, Miyoshi membungkukkan badan. Hormat kepada Jitsui yang menjadi atasannya.

“Jitsui-sama, aku menemukan kapal penangkap ikan Ichiyo di pantai sebelah timur Yokohama.“

Jitsui mengangguk pelan. “Ichiyo? Apa maksudmu melaporkan hal itu kepadaku?”

Miyoshi menyodorkan buku catatan yang telah using yang baru ditemukannya kepada Jitsui. Sambil menundukkan kepala, ia berkata, “Aku menemukan buku catatan ini di kapal Ichiyo yang telah rusak ini.”

Jitsui mengambi buku tersebut. Ia memegang dagunya. Mengusap-usap pelan. “Apakah ini adalah sebuah rahasia?”

Miyoshi mengangkat bahunya. “Siapa tahu. Saya juga belum membacanya, Jistui-sama. Saya hanya menemukan buku ini. Di samping itu, kapal ini terletak tidak jauh dari lokasi pertempuran. Saya yakin, jika pertempuran tersebut ada hubungannya dengan kapal ini.”

Jitsui masih memegang buku tersebut. “Baiklah. Mungkin aka nada sedikit informasi jika kita membacanya. aku tahu, kau juga sangat ingin membacanya bukan?”

Miyoshi mengangguk pelan. “Tentu, Jitsui-sama.”

Miyoshi melangkah menuju sisi Jitsui. Tangan-tangan besar Jitsui memegang sampul buku yang sudah usang. Membukanya dengan pelan-pelan.

Ini baru permulaan halaman. Keduanya akan merasakan seperti apa yang dituliskan sesuai isi buku.

*

Januari, 1942

            Ini adalah buku catatan pertamaku setelah aku keluar dari kepolisian militer dan memilih bekerja di kapal besar ini.

Namaku Tomoya Seo, 24 tahun. Aku sengaja melamar menjadi awak kapal. Alasannya cukup sederhana. Aku ingin pergi sejauh-jauhnya dan tak ingin kembali ke polisi militer yang cukup melelahkan.

Awak kapal biasanya memanggilku Seo. Seharusnya mereka memanggil nama depanku. Tapi itu tak masalah bagiku. Ishida-sama yang pertama kali memanggilku Seo.

Kubilang ini adalah hari pertamaku. Pukul 6 tepat, kapal Ichiyo ini sudah berlabuh meninggalkan pelabuhan Yokohama dan pergi untuk mencari ikan. Menurutku, kapal ini tergolong canggih. Jarring-jaring yang besar dan kemampuan Ishida-sama dalam memperkirakan perairan mana yang lebih banyak ikannya dengan memperhatikan arah angin, gelombang air laut, dan burung-burung yang terbang di atasnya.

Sekitar beberapa jam, ikan-ikan sudah terjaring. Kami mendapatkan tangkapan ikan paling besar sekitar pukul 4 sore. Seekor ikan tuna yang berbobot 200 kg tertangkap. Bukan hanya itu, kami juga banyak menangkap ikan salmon dan ikan sarden. Bagian penampung langsung penuh. Itu hanya hari pertamaku bekerja di kapal ini. Bahkan Ishida-sama memujiku saat aku berhasil menarik jarring-jaring yang berisi banyak ikan.

Pada hari kedua, entah mengapa hari ini tidak seberuntung hari kemarin. Angin berhembus sangat kencang. Hingga baju-bajuku hampir berterbangan. Ombak laut di atas 5 meter. Ishida-sama memperkirakan jika ikan lebih banyak bersembunyi pada cuaca yang seperti ini.

Masalahnya bukan kami tidak dapat ikan sebanyak kemarin, tetapi kami tidak bisa pulang karena hujan tiba-tiba saja turun disertai angin kencang.

Angin semakin berhembus kencang, ombak laut juga semakin tinggi, suasana mulai gelap dan dingin. Cuaca sangat buruk di laut Jepang. Mustahil bagi kami untuk pulang dalam cuaca seperti ini. Tapi mustahil juga bagi kami untuk bertahan di tengah laut dalam cuaca yang seperti ini. Apalagi semua orang sangat kelelahan. Begitu juga Ishida-sama yang lebih banyak mengatur awak kapal dan memastikan untuk mendapat tangkapan ikan.

Pada akhirnya, Ishida-sama membiarkan kapal ini mengapung di tengah cuaca yang buruk. Mata Ishida-sama sudah rabun. Tak mungkin dia mengetahui arah pulang. Semua awak kapal masuk ke dalam kabin. Kukatakan sekali lagi, kapal ini sangat besar. Besarnya hampir satu lapangan. Di kapal ini, terdapat ruang istirahat bagi awak kapal yang kelelahan atau ingin tidur.

Semua awak kapal beristirahat. Termasuk diriku. Namun, aku harus mencatat peristiwa ini di buku catatan. Sebelumnya, aku melihat Ishida-sama yang nampak lesu di ruang kerjanya. Kutengok dia, dan dia sedang melamun. Entah apa yang dipikirkannya, raut wajahnya terlihat cemas. Aku tak tahu apa isi hati Ishida-sama, tetapi aku tahu jika ia benar-benar cemas.

Hari ketiga, cuaca sangat cerah. Tidak ada awan di langit. Semuanya biru. Cuaca sangat cerah. Tidak panas, ataupun tidak berangin ataupun hujan seperti kemarin. Anehnya, kami baru menyadari jika tidak ada angin sama sekali. Ishida-sama berkali-kali menjilat telunjuknya, untuk memastikan apakah ada angin. Sayangnya, tidak ada angin sama sekali. Bahkan, layar kapal tidak tertiup sama sekali. Tetap diam di atas laut.

Untungnya kami mempunyai tenaga uap. Kami jalankan, karena layar kapal tidak berguna. Setelah kapal berjalan, kami memutuskan untuk pulang ke Yokohama. karena kapal perlu perbaikan. Kapal pun berlayar, kembali ke pelabuhan Yokohama.

Sudah beberapa jam, seharusnya kami sudah sampi ke pelabuhan Yokohama. Ishida-sama sering melihat jam saku miliknya. Seharusnya sudah sampai. Tapi kenapa belum sampai? Bahkan dari kejauhan, hanya hamparan air yang luas. Belum terlihat daratan sama sekali. Ishida-sama bertanya kepada sang nahkoda, apakah ia salah arah. Tapi melihat tampat matahari terbit, sang nahkoda yakin tak salah arah.

Kulihat wajah Ishida-sama kembali cemas. Aku tak tahu alasan mengapa ia cemas. Namun aku tahu, jika kita sedang tersesat di samudra yang begitu luasnya.

Hari demi hari berlalu, kami terus berlayar. Untuk makanan, kami memanfaatkan ikan yang ada di lautan. Lebih tepatnya ikan-ikan itu dimakan mentah, karena bahan-bahan dapur sudah habis. Aku juga begitu. Memakan secara langsung ikan-ikan yang ada di hadapan tanpa dimasak sekalipun. Ishida-sama kembali cemas lagi. Kemungkinan kita akan lama di sini.

Hari berlalu, kami terus melintas di samudra yang luas. Sebagian awak kapal yang stress, mengakhiri hidupnya dengan meloncat ke laut dan membiarkan dirinya tenggelam. Tak berapa lama, ada hiu besar yang memakan mereka secara langsung. Mengoyak daging mereka serta mengunyah dengan kasar. Awak kapal yang masih hidup, bergidik ngeri melihatnnya. Seketika air di sekitar kapal berubah menjadi merah. Bekas darah awak kapal. Kulihat juga wajah Ishida-sama. Ia terlihat mematung, melihat sebagian awak kapal mengakhiri hidupnya dengan meloncat ke laut.

Aku rasa, aku paham apa yang ada di pikiran Ishida-sama. Kalau beberapa hari kedepan, ada beberapa orang yang mati di antara kita.

Dan firasat itu memang benar. Ada sebagian orang yang mengakhiri hidupnya dengan meloncat ke laut dan membiarkan dirinya menjadi santapan hiu serta ada yang mengakhiri hidupnya dengan menusuk hatinya. Darah berceceran di sekitar kapal. Aku menutup hidung. Suasana di kapal bagaikan neraka. Setiap harinya, kami selalu menemukan mayat para awak kapal yang mati dengan tragis. Juga gusiku yang mulai berdarah karena kekurangan zat besi dari sayuran. Semuanya seperti neraka bagiku. Kacau balau. Yang paling aku takutkan adalah, jika sebagian dari kami akan mempunyai jiwa kanibal. Memakan satu sama lain.

Pada hari ketiga-belas, ada secercah harapan di kapal kami. Kami melihat sebuah pulau. Ishida-sama mulai menunjukkan wajah senyumnya setelah sekian lama bersedih karena harus berada dalam penderitaan.

Bagai seorang Christoper Columbus menemukan Benua Amerika, kami kira pulau itu tak berpenghuni. Kami mendaratkan kapal kita ke pulau tersebut. Hanya tiga belas orang yang masih tersisa. Termasuk aku, Ishida-sama dan sebagian awak kapal yang masih hidup.

Jujur saja, semua awak kapal banyak yang tidak tahu tentang itu. Kepala mereka serasa dipusingkan dengan orientasi sekarang. Mereka seperti tidak mengenal mana utara dan mana selatan, mana barat dan mana timur. Bahkan mereka tidak tahu berada di pulau yang entah berantah. Tidak diketahui juga, pulau itu berada di mana dan milik kekuasaan siapa. Sekali lagi kulirik wajah Ishida-sama yang menelan ludah, cemas melihat sekelilingnya. Bias kuartikan jka sesuatu yang buruk akan segera terjadi.

Akhirnya, Ishida-sama memimpin kami, menulusuri pulau yang sangat asing. Kami juga berteriak meminta tolong. Dan benar saja dugaanku. Tidak ada orang yang hidup di sana. Bahkan kami merasa ada sesuatu yang aneh di pulau itu.

Ishida-sama memimpin para rombongan. Dengan pedang yang dimilikinya, ia menebas semak belukar di hutan. Mencoba mencari apakah ada perkampungan atau penduduk di sekitar pulau ini untuk meminta bantuan. Dan semakin dalam kami masuk ke dalam, tidak ada kehidupan di sana seperti hewan dan manusia. Yang ada hanyalah semak belukar dan pepohonan yang tumbuh di sana yang tumbuh tak beraturan.

Ada seorang awak kapal yang berteriak keras. Kami menoleh ke belakang. Ke arah awak kapal. Alangkah terkejutnya diriku. Aku terdiam. Tak bisa apa-apa. Aku ingat itu. Tanganku sampai bergetar ketika menuliskan ini. Seekor monster dengan tinggi sekitar 5-7 meter, dengan beberapa bulu yang cukup lebat menutupi tubuhnya, jari-jari dengan jumlah yang banyak serta kuku panjang. Monster itu mendengus. Memegang awak kapal yang berteriak tadi.

Aku mundur beberapa langkah. Suara dengusan itu semakin kuat. Kudengar Ishida-sama semakin menampakkan wajah yang sangat cemas. Kulihat para awak kapal lainnya menurunkan pedangnya. Bukannya menolong awak kapal yang tengah berada pada titik taka man, mereka mundur. Seperti diriku. Salah satu awak kapal mengangkat tangannya. Berseru kencang penuh ketakutan, “Semuanya, lari!”

Aku refleks sambil membawa buku catatan dan penaku. Tetap menulis saat ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi di belakangku, monster itu bergerak. Mengejar kami. Meskipun ia berjalan lambat, tetapi jangkahnya sangat lebar. Bisa dibilang, ia akan mengejar kita. Kami terus berlari. Menuju lautan. Tepatnya kapal kita.

Setelah berlari dengan penuh kengerian, kami segera naik ke kapal. Untungnya, Ishida-sama—meskipun ia sudah tua, tetapi ia pelari yang tangguh. Kulihat sekali lagi wajah Ishida-sama yang penuh peluh. Boleh jadi, ia merasa bersalah karena memilih mengorbankan satu anak buahnya yang terbawa oleh monster dan memilih berlari dengan para awak lainnya. Entah apa yang terjadi dengan awak kapal tersebut. Mungkin saja, ia sudah termakan atau yang lebih buruk lagi pastinya.

Sisa kami sekarang berkurng satu orang. Menjadi 12 orang. Entah apa yang kita lakukan, kami juga tak tahu kita mau pergi ke mana. Kami hanya pasrah. Gusi kami mulai berdarah-darah, akibat kurang zat besi dari sayuran dan terlalu banyak memakan ikan mentah. Juga kulit kita yang mengeluarkan aroma tak sedap hingga kesehatan yang mulai berubah. Kami semua tergeletak lemas. Berharap, kami tak menjadi kanibal dalam memuaskan nafsu lapar.

Pada itu juga, kami hanya bisa pasrah. Membiarkan angin dari darat meniup kapal ini entah ke mana. Kami juga siap jika mati kelaparan di sini.

Pada hari ke-empat belas, angin telah membawa kita berlalu. Menjauhi pulau yang mengerikan itu. Tenaga kami masih tersisa sedikit. Kami hanya berharap hanya pulang dengan selamat. Ishida-sama juga semakin payah. Aku baru tahu jika Ishida-sama bisa selemas ini. Kapitein yang terkenal dengan menaklukan ombak dan lautan, kini terkulai lemas dengan tubuhnya yang mulai mengurus.

Aku melihat teropong. Ada bagian berwarna hitam di seberang sana. Pikiranku langsung cepat menyimpulkan jika itu adalah pulau. Ya, kita menemukan pulau lagi.

Ishida-sama, dengan segala kekuatan yang tersisa, memberitahukan seluruh awak kapal untuk segera melebarkan layar. Menuju pulau itu secepat mungkin. Dengan penglihatan yang agak buram, Ishida-sama menyipitkan matanya. Mencoba untuk melihat secara jelas. Ishida-sama memajang wajah tak percaya. Ia berseru keras kepada seluruh awak kapal. “Yokohama! Kita telah sampai ke Yokohama!”

Para awak kapal kegirangan. Mempersiapkan seluruhnya untuk tiba di kota tersebut. Ada yang berkemas karena rindu kepada keluarga di rumah. Ishida-sama sedang menulis surat. Sebuah surat terlihat sangat rahasia. Setelah menulisnya, ia menggulung kertas itu dengan pita warna hitam.

Tiba-tiba saja, Ishida-sama berseru kencang, “Ada pengkhianat masuk di kapal ini!”

Semuana saling toleh. Aku tak tahu apa maksud dari Ishida-sama.

“Jika tidak ada pengkhianat di sini, kita tidak akan terombang-ambing di lautan selama dua minggu. Itu sudah hokum karma bagi seorang pengkhianat yang masuk di kapal Ichiyo ini,” Kata Ishida-sama dengan yakin.

Ishida-sama meneropong pulau itu dari kejauhan. Tampak jejeran orang seperti pasukan sudah ada di tepi pantai. Ishida-sama mengusap wajahnya pelan. “Astaga, para kepolisian militer telah berjejeran di sana.”

Beberapa menit kemudian, kapal besar Ichiyo berhasil mendarat di dermaga kapal. Kulihat ekspresi wajah para awak kapal tidak menunjukkan wajah tak senang sama sekali. Padahal sebelumnya mereka sangat senang karena dapat kembali. Juga saat kita mendarat di dermaga kapal, barisan kepolisian militer berjejeran di tepi pantai. Sang pemimpin kepolisian militer Yokohama bagian timur.

Baru kali ini kulihat wajah Ishida-sama tak kalah serius dengan wajah para polisi militer tersebut. Ishida-sama membungkuk di depan pimpinan polisi. Memberi hormat. “Mengapa kalian berjejer di sini?”

“Justru aku mau bertanya ke mana saja kalian pergi selama dua minggu?!” pimpinan polisi tersebut membentak.

Ishida-sama menyerahkan gulungan kertas itu kepada pemimpin polisi militer. Dibacanya dengan seksama. Seketika, urat-urat dahinya menonjol. Matanya melotot seketika. “Kau kira kami pelakunya?”

“Lalu siapa lagi? Kau tak tahu ritual dan kebiasaan kami dalam menangkap ikan di kapal besar Ichiyo. Bagaimana kami mendapatkan ikan yang banyak, menjual dengan keuntungan besar, cuaca yang cerah. Itu semua adalah takdir yang pasti.

“Hanya saja, kepastian itu akan berubah, jika ada salah satu pengkhianat masuk ke kapal kami. Membawa niat busuk. Dan selama dua minggu perjalan, kami mendapatkan banyak kejadian buruk. Sudah pasti jika ada pengkhianat yang membawa rencana yang sangat busuk ada di kapal ini. Anda pasti tahu, kan?”

Pemimpin kepolisian militer itu mengerang. “Apa maksudmu?! Kau pikir kami menyelipkan pengkhianat di kapalmu?”

“Tentu saja. Kepolisian militer akhir-akhir ini membuat suatu hal yang seharusnya tak boleh dilakukan oleh petinggi seperti kalian. Memboikot apapun. Kapal-kapal kecil kalian rampas hanya untuk memperbesar kekuasaan kalian. Mendapatkan uang yang banyak untuk kota padahal Yokohama adalah kota pelabuhan terbesar. Dan yang paling tidak aku sukai adalah kalian mengenakan pajak yang terlampau besar bagi kapal penangkap ikan sebesar Ichiyo yang selalu menyumbang penghidupan bagi Yokohama. Sedangkan kalian adalah perusak!”

Sebuah letusan terdengar di langit. Apa yang dikatakan Ishida-sama benar-benar melampui batas. Sedangkan tanganku seharusnya tak menulis bagian tersebut.

Ishida-sama mengangkat tangannya. Seketika para awak kapal yang masih tersisa mengangkat pedangnya dan pisau. “Kami para nelayan, penakluk lautan tak akan menyerah. Kami rela mati demi kebaikan. Pajak yang kalian tarik tidak untuk pemerintah, melainkan untuk meminum sake dan memuaskan kesenangan kalian!”

Seketika juga, salah satu polisi militer menembak salah satu awak kapal. Tergeletak lemas dengan kening yang berdarah. Tanpa berpikir panjang, Ishida-sama maju sambil mengangkat pedangnya. Bersama dengan awak kapal yang lain, mereka menumpas semuanya. Pertempuran antara polisi militer dan para nelayan terjadi.

Aku hanya terdiam. Muncul pikiran di otakku. Sebenarnya siapakah diriku? Kenapa aku hanya diam sendiri. Tiba-tiba aku tak berani maju. Siapakah diriku? Aku bukanlah nelayan. Pengecut diriku. Aku takut jika Ishida-sama mencurigaiku.

“Seo! Kenapa kau tak maju? Apakah kau bukan salah satu dari kami?”

Kata-kata itu membuatku takut.

“Seo! Majulah! Kau tak boleh berdiam sambil memegang buku kecil itu.”

Sebilah pisau dilemparkan tepat mendarat di hadapanku. “Cepat ambil itu! Bunuh semua polisi militer di depanmu?”

Aku? Membunuh? Tidak. Tidak mungkin. Aku tak bisa melakukanya. Karena aku adalah seorang penyusup di kapal ini.

Apapun yang aku lakukan, ini adalah perintah dari kapten Miyoshi. Aku menjadi penyusup untuk mengetahui semua kelemahan dari kapal ini. Ini rencana busuk. Hanya dengan iming-imingan uang, aku pun tergoyah dan menyetujuinya. Aku tak tahu jika kapal Ichiyo memiliki sebuah kutukan akan tersesat jika ada seorang penyusup yang masuk. Dan aku memang sudah terjebak.


Aku kira, selama aku menulis, aku akan lebih banyak menemukan rahasia dan info penting. Tapi, hanyalah berputar-putar di atas lautan dengan banyak putus asa. Hanya ada satu dalam pikiran. Aku mengambil pisau itu dan segera menyelesaikan tugas terakhirku. 

Kamis, 30 Juni 2016

Annastasia



Oymyakon, Uni Soviet 

Kala itu, tahun 1925. Tepatnya 3 tahun setelah negara Uni Soviet terbentuk pada Desember 1922 dengan ibu kota di Moskwa. Uni Soviet yang kekuasaannya sampai melebar ke daerah yang sekarang disebut Asia Tengah. Kala itu, Josef Stalin memimpin Uni Soviet pasca kematian Vladimir Lenin.

Bulan Desember di kota Oymyakon. Salah satu kota dengan suhu terdingin di Uni Soviet. Di mana terdapat banyak bongkahan es dan salju tiap hari selalu turun menutupi kota kecil itu. pada tahun 1920, kota itu hanya dihuni oleh 500 orang. Kebanyakan penduduknya berpindah tempat. Tidak sanggup lagi bertahan di tempat yang paling dingin di Uni Soviet. Penduduk di sana memakai topi berbulu lebat yang menutupi kepala sampai telinga dan memakai pakaian tebal. Pernah tercatat suhu tertinggi di kota tersebut mencapai -71 derajat celcius. 

Karena suhu yang sangat dingin, semua dilakukan serba sederhana. Masyarakat membuat rumah memakai kayu dan mereka tidak bisa dipisahkan dengan batu bara. Bagi mereka, batu bara adalah sumber tenaga yang bisa mereka gunakan dalam keadaan apapun termasuk untuk menghangatkan ruangan dan menciptakan api. Matahari di sana tertutupi oleh awan putih dan membuat kota itu membeku meskipun sudah tiba musim panas. Karena suhu yang sangat dingin, sangat susah untuk menguburkan jenazah orang yang telah meninggal. Mereka harus membakar tanah agar es yang menutupi tanah bisa mencair baru menggali tanah dan memasukkannya ke tanah yang telah digali. Karena suhu yang sangat dingin juga, mayat-mayat tersebut layaknya orang yang masih hidup. Seperti mumi yang diawetkan.

Salah satu harta karun kota itu adalah adanya sumber air panas yang biasanya digunakan penggembala rusa untuk memberi rusa mereka minuman. Sumber air panas itu juga digunakan oleh penduduk kota Oymyakon untuk segala kebutuhan mengingat mereka sangat membutuhkan kehangatan.

Gadis itu, dengan pakaian tebal dan sepatu bot berbulu mengantri untuk memberi minum rusanya. Ia menyiduk sumber air panas lalu memasukkannya ke mulut rusa miliknya. Gadis itu bernama Annastasia Lyubov.

Annastasia mengusap pipinya yang kedinginan. Ia segera menyeret rusanya pulang ke rumah. Sejujurnya, ia tidak punya tempat untuk pulang. Keluarganya tidak ada. Seperti yang kukatakan, kota Oymyakon sangatlah dingin. Banyak penduduk yang terpaksa pindah karena tidak tahan dengan dinginnya kota tersebut. Termasuk keluarganya.

Ayahnya, Antonio Lyubov telah meninggal sejak kecil karena tersesat dan kedinginan di tengah hutan saat mencari rusa untuk disembelih. Sampai sekarang, ia tidak pernah mendengar kabar bahwa ayahnya masih hidup. Para tetangga sudah memutuskan jika ayah Annastasia sudah mati. Namun, dalam hati kecilnya, ia yakin ayahnya masih hidup.

Ketika ia berumur 15 tahun, ibunya yang bernama Irene Lyubov bunuh diri dengan menusuk dirinya dengan pisau. Ia tidak tahu mengapa ibunya bunuh diri dan tega meninggalkan dirinya. Annastasia yang waktu itu masih remaja tanggung, merasa terpukul melihat ibunya terbujur kaku. Karena tidak punya uang yang cukup, ia menguburkan ibunya sendirian di dekat rumahnya. Setiap kali ia pulang ke rumah, ia akan disuguhi oleh bau busuk mayat ibunya yang perlahan tertutup salju.

Saat ini, ia berumur 18 tahun. Yang ia punya hanyalah rusa yang ia pelihara sendirian. Sekarang, ia telah cukup dewasa. Ia berniat melarikan diri dari kota itu. masalahnya, ia tak tahu harus kemana. Ia berhenti sekolah saat umurnya 15 tahun. Ia tidak terlalu paham tentang dunia luar. Apakah dunia luar akan sedingin kotanya? Ia menggigit bibirnya. Ia megutuk dalam-dalam pemerintah sekarang. Uni Soviet membiarkan suku-suku nomaden itu menetap agar mudah dipantau. Di sisi lain, ia membenci pemerintahan yang membiarkan kotanya mati karena kedinginan.

Annastasia membulatkan tekadnya. Ia memutuskan untuk pergi ke Moskwa. Sebelum itu, ia menyiapkan pakaian dan makanan yang sekiranya cukup untuk bertahan hidup. Ia juga membawa novel karangan Fyodor Dostoyevsky yang berjudul Crime and Punishment. Ia suka sekali novel karangan Fyodor. Menurutnya, novel itu adalah pemberian dari ayahnya yang sangat berharga.

Ia menutup pintu. Memberikan makanan kepada rusanya untuk terakhir kali. Ia mengusap rusanya pelan. “Baik-baik sajalah di sini. Aku akan pergi. Kalau kau mau, kau boleh memakan apapun di sekitar rumah.”

Annastasia kemudian berjalan ke arah barat. Ia tahu jika Moskwa sangatlah jauh dari Oymyakon. Ia tidak tahu jika ia bisa saja mati kelaparan di tengah jalan. Ia menunggang kuda liar yang ia temukan di hutan. Karena didikan ayahnya, Annastasia bisa menunggangi kuda itu dengan baik. Bahkan, ia sangat baik dalam menunggang kuda lebih baik dari orang-orang di kotanya.

Annastasia menunggangi kuda dan berhasil keluar di kota paling dingin di Uni Soviet. Kala itu musim dingin. Kota-kota juga tertutup salju meskipun tidak separah di Oymyakon. Setidaknya ia masih bisa melihat dengan jelas. Ia juga sesekali berhenti. Memberi makan dan minuman kuda liar tersebut,

Annastasia sudah berkelana jauh. Oymyakon sudah tertinggal jauh di sana. Sudah berhari-hari ia menunggangi kuda liar tersebut. Meskipun sesekali kuda liar itu meringkik keras. Tidak mau jalan. Sesekali juga Annastasia tidur di atas kuda. Tidur di bawah pohon.

Baru seminggu Annastasia pergi. Ia melihat perbekalannya. Ia meringis, melihat makanan yang ia bawa tinggal sedikit. Apalagi ia harus memberi makan kuda liar itu rerumputan atau dia akan meringik kembali. Ia menoleh ke segala arah. Ia tidak membawa peta. Ia juga tidak tahu apapun tentang kota ini. Hanya hamparan tanah yang ditutupi salju tipis dengan bekas-bekas rumah kosong. Sepertinya kota ini adalah bekas peperangan dahulu.

Ia memegangi perutnya yang keroncongan. Sakit. Bisa jadi, Annastasia akan pingsan di tengah jalan tanpa ada seorang pun yang menolong. Ia memutuskan untuk berjalan. Ia tidak menunggangi kuda. Takut jika kuda liar itu larinya tidak kencang karena belum dikasih makan. Annastasia menuntun kuda tersebut.

Baru beberapa langkah Annastasia berjalan, ia jatuh tersungkur dengan wajah yang terlebih dahulu menyentuh tanah. Ia sangat lemas. Annastasia mengambil tindakan buruk. Ia terpaksa tidak makan. Mengingat bekalnya hanyalah sepotong roti gandum. Ia tidak bisa memakannya. Jika ia memakannya, sudah pasti roti gandum itu akan langsung dihabiskannya dalam sekejap.

Pandangannya mulai gelap. Annastasia mengerjapkan matanya. Apakah ia harus mati kelaparan di sini? Atau ada seseorang yang akan menyelamatkannya? Bayang-bayang akan ayahnya tiba-tiba muncul. Ia teringat saat ayahnya memberikan novel karangan penulis terkenal era Uni Soviet dulu. Crime and Punishment. Novel itu sangat menarik. Di mana jika seseorang melakukan kejahatan, harus mendapatkan hukuman. Ayahnya sering menceritakan begitu. Entah mengapa, meskipun ayahnya telah meninggalkannya lama, ia yakin jika ayahnya masih hidup di suatu tempat.

“Hei, nona! Jangan pingsan di sini.” Suara itu terdengar sumbang di telinga Annastasia. Namun, cukup membuat ia sedikit tersadar. Ia membuka matanya pelan-pelan. Nampak seorang pria yang berpakaian rapi dengan sepatu bot yang setinggi lutut.

“Nona? Bangunlah!” katanya.

Annastasia mencoba bangkit. Terduduk lesu. Pria yang ada di hadapannya itu mensejajarkan padanya.

“Nona? Apa kau mau makanan?” Pria itu menawarkan makanan kepadanya. Sebuah roti dengan isi daging. Annastasia menelan ludah. Ia sudah lama tidak makan daging. Ia lantas mengambil roti itu dari tangan pria. Memakannya sampai habis.

Pria yang ada di hadapannya itu tersenyum melihat tingkah aneh Annastasia. “Namaku Grisha Markovic. Panggil saja aku Grisha. Namamu siapa?”

Annastasia terdiam sebentar. “Annastasia Lyubov.”

Grisha itu memperbaiki mengusah pakaiannya dari salju yang turun. “Oh, Annastasia! Kau dari mana? Dan, kenapa kau membawa kuda?”

“Aku dari kota Oymyakon. Aku keluar kota dan ingin pergi ke Moskwa.”

Mata Grisha melebar. “Oymyakon? Astaga! Itu adalah kota yang paling dingin di Uni Soviet. Dan kau mau ke Moskwa? Itu sangat jauh sekali, Annastasia.”

Annastasia hanya terdiam. “Aku ingin ke sana.”

“Baiklah, Annastasia.” Grisha langsung berdiri. Annastasia mengangkat wajahnya. Sebuah kuda hitam. “Kebetulan aku juga mau ke sana. Kau bisa ikut denganku.”

Annastasia berpikir sebentar. “Bagaimana dengan kudaku? Ia belum sama sekali kukasih makan.”

“Kudamu? Tinggal saja dia, Annastasia. Kau bisa ikut denganku dengan naik di belakang. Semua akan baik-baik saja, Annastasia. Aku tahu jalan ke Moskwa.”

Mendengar ucapan Grisha, membuat Annastasia sedikit menurut. Ia menaiki kuda hitam milik Grisha. Berpegang erat. Grisha tersenyum senang. “Baiklah, Annastasia. Pegangan yang erat. Karena kuda ini akan melaju kencang.”

Tanpa memakan waktu lama, kuda yang ditunggangi Grisha dan Annastasia melaju kencang secepat mobil. Annastasia menoleh ke belakang. Kuda liar yang ia pungut sudah tertinggal jauh. Meringkik keras. Dan pada akhirnya, petualangan Annastasia ditemani oleh Grisha. Pemuda berpakaian rapi yang kira-kira umurnya lebih tua darinya namun tidak terpaut jauh. Di dalam hatinya, Annastasia berterima kasih kepada Grisha karena membantunya. Mengingat ia hampir pingsan karena kelaparan. Setidaknya dengan adanya Grisha, Annastasia bisa ke Moskwa dengan cepat.

Sudah hampir lima jam kuda itu berjalan. Tentu kuda itu sudah lelah. Mereka berdua turun dan mendapati rumah kosong tanpa penghuni. Grisha memeriksa rumah itu sebelum Annastasia masuk. Grisha tersenyum senang karena rumah kosong itu dapat dijadikan tempat istirahat.

Grisha langsung membuat api. Annastasia melepas jaket tebal yang ia kenakan. Basah. Ia belum melepas jaketnya sama sekali. Ia memakai baju lengan panjang dengan rok panjang lalu meletakkan jaketnya ke perapian. Ia melihat Grisha yang tetap berpakaian rapi meskipun sedang beristirahat sambil menghangatkan tubuh.

Karena baru pertama kali berkenalan, mereka sedikit canggung. Hanya hembusan nafas yang terdengar. Merasa bosan, Annastasia mengambil novel favoritnya lalu membacanya dengan cahaya api. Grisha menoleh ke arah Annastasia yang sangat serius membaca novel. Ia tersenyum senang melihat judulnya.

“Kau suka karya Fyodor, ya?” katanya.

Annastasia hanya terdiam. Ia sama sekali tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan Grisha. Ia fokus ke novelnya. Grisha yang melihatnya mendengus pelan. Gadis yang baru ditemuinya sangat dingin. Tapi kalau dilihat secara seksama, Annastasia cukup cantik dengan rambut coklat yang terurai panjang dengan mata yang berwarna abu-abu. Grisha mengamatinya cukup lama hingga Annastasia menoleh ke arahnya. Membuyarkan tatapannya.

“Kau untuk apa pergi ke Moskwa?” tanya Annastasia.

“Untuk bertemu ayahku. Aku sebenarnya ditugaskan di suatu daerah. Saat jalan pulang, aku menemukanmu dan mengajakmu ikut bersamaku ke Moskwa.”

Annastasia sedikit tersenyum. “Terima kasih. Kau sangat baik.”

Annastasia kembali fokus ke novelnya. Crime and Punishment. Di mana seseorang melakukan sebuah kejahatan, maka ia harus mendapatkan hukuman. Karya terbaik dari pengarang terkenal Fyodor Dostoyevsky.

“Hei, kau belum menjawab pertanyaanku yang pertama,” kata Grisha, “kenapa kau suka novel itu?”

Annastasia menoleh ke arah Grisha. “Novel ini?” katanya sambil menunjukkan judul bukulnya. “Aku suka sekali karena ini pemberian ayahku. Kata-kata yang digunakan sangat bagus. Ayahku selalu menjelaskan maksud dari novel ini. Di mana seseorang melakukan kejahatan, maka ia harus mendapat hukuman. Begitulah.”

Grisha hanya bergumam pendek. “Crime and Punishment.” Ia mengatakannya hampir sama dengan yang dikatakan Annastasia. Grisha menguap lebar-lebar. “Ah, Annastasia. Aku mulai mengantuk. Apa kau tidak tidur?” tanya Grisha.

Annastasia menggeleng pelan. Ia sama sekali belum mengantuk.

“Baiklah, kalau begitu. Aku mau tidur dulu. Keluargaku besok.” Grisha membaringkan tubuhnya. Ia langsung tertidur pulas.

Annastasia tidak bisa dengan tenang membaca novel sekarang. Mendengar tujuan Grisha datang ke Moskwa, hanya untuk bertemu keluarganya. Apakah ia bisa bertemu ayahnya? Bisakah ia bertemu salah satu keluarga yang ia punya? Malam itu, Annastasia tidak bisa menikmati novelnya. Ada dua perasaan muncul di dalam hatinya. Pertama, ia percaya jika ayahnya masih hidup. Kedua, ia mulai menyadari jika ia amat mengagumi Grisha.

*

Pagi harinya, mereka berdua sedikit terlambat. Grisha membangunkan Annastasia. Kemungkinan, Annastasia tidur larut malam. Annastasia langsung kaget menyadari jika ia bangun agak telat. Seperti biasa, Grisha sudah berpakaian rapi seperti biasanya. Grisha juga memperingatkan Annastasia harus memakai jaket tebal. Karena prediksi Moskwa akan turun salju lebat. Ia juga memberikan sebuah pistol colt yang seharusnya tidak boleh diberikan kepada siapapun. Grisha memberikannya karena untuk alasan keselamatan. Ia tidak mau jika Annastasia terluka jika bertemu dengan orang-orang jahat di Moskwa.

Untuk pertama kalinya, Annastasia memegangi pistol. Tangannya sempat gemetaran saat memegang pistol. Namun, Grisha meyakinkan Annastasia jika itu sangat penting untuk berjaga-jaga. Mereka berdua bersama-sama naik kuda hitam milik Grisha. Annastasia memegangi pundak Grisha. Kali ini ia merasa nyaman dengan pria yang baru ia temui. Grisha juga mempunyai perasaan yang sama. Ia merasa sangat senang membantu gadis yang hampir pingsan di tengah jalan.

“Oh, iya Annastasia. Jika kau belum menemukan apapun yang kau mau ketika kau sampai ke Moskwa, maukah kau ikut denganku?” tanya Grisha.

Annastasia terdiam sebentar. Ia tahu maksud dari ucapan Grisha. Ia mengangguk pelan. “Ya. Aku akan ikut denganmu.”

Grisha tersenyum lebar. “Baiklah kalau begitu. Pegangan yang erat. Karena kuda hitam ini akan melesat secepat mobil.”

Annastasia sedikit tergelak. Ia belum memegang pundak Grisha dan kuda sudah melaju dengan kencang. Annastasia sedikit tertawa. Ia hampir saja terjatuh. Namun, ia sangat bangga menemukan pria yang menurutnya˗˗sangat baik. Entah mengapa, ia menemukan kebahagiaan tersendiri saat bersama Grisha.

Setelah dua jam kuda itu berjalan, mereka baru sampai di Moskwa. Grisha memberhentikan kuda hitam miliknya. Ia melepaskannya sembarang ke seseorang. Grisha menoleh ke arah Annastasia. “Kita sudah sampai ke Moskwa. Ayo, akan kuajak kau ke rumahku. Sebelum itu, ada seseorang yang harus ku temui.”

Annastasia mengangkat alisnya sebelah. “Seseorang?”

“Iya. Aku bekerja di bagian kemiliteran. Aku bertugas menyelidiki tempat-tempat yang rusak akibat perang dan aku harus melaporkannya sekarang.”

Annastasia hanya menurut. Grisha menarik tangan Annastasia. Mengajak gadis itu untuk berkeliling sambil menemui seseorang.

Untuk pertama kalinya, Annastasia datang ke Moskwa, ibu kota Uni Soviet. Ia melihat jalanan Moskwa yang tertutup salju tipis. Beberapa orang berlalu lalang dengan pakaian tebal meskipun tidak setebal orang-orang yang berada di Oymyakon. Ia melihat tangan Grisha yang menggenggam tangannya. Begitu besar dan hangat.  Tangan hangat itu menggenggam tangan Annastasia yang kedinginan sejak tadi. Bahkan tangannya hampir membeku.

Beberapa menit kemudia, kedua telah sampai di bangunan dengan gaya eropa yang sangat mewah. Menjulang tinggi. Bangunan itu tetap mewah meskipun salju putih sedikit menutupi ornament bangunan itu. “Lewat sini, Annastasia.”

Annastasia mengikuti Grisha dari belakang. Ia mengikuti punggung Grisha. Ia juga penasaran, siapakah orang yang akan ditemui Grisha. Apakah kekasihnya? Annastasia tidak terlalu mengerti jika Grisha mempunyai kekasih. Mungkin, Grisha akan bertemu dengan bosnya.

Mereka telah sampai di depan pintu kayu berwarna coklat. Grisha membuka pintu itu dengan pelan. Nampaklah seorang pria dewasa bersama dengan seorang wanita berpakaian ala eropa sedang berpelukan. Grisha yang melihatnya sedikit canggung. Namun, Annastasia merasa tidak asing dengan apa yang dilihatnya. Ia melongo. Matanya melebar, mengenali siapa pria yang ada di hadapannya. Dialah ayah Annastasia. Antonio Lyubov.

Grisha menoleh ke arah Annastasia. “Kenapa? Oh, itulah orang yang akan kutemui. Dan wanita yang ada di sampingnya adalah˗˗”

“Cukup!” teriak Annastasia. “Ayah, apakah kau ingat kepadaku?”

Pria dewasa itu menatap Annastasia lama. Ia mengangkat wajahnya. “Apakah itu kau, Annastasia?” tanyanya. “Apa yang kau lakukan di sini, Annastasia?”

Seketika wajah Annastasia menjadi merah padam. “Ayah bertanya mengapa aku di sini? Lalu, apa yang ayah lakukan di Moskwa? Siapa wanita itu?”

Antonio melepaskan pelukannya. Ia menghela nafas sebentar. “Maafkan ayah, Annastasia. Kami sudah bertemu sebelum aku bertemu dengan ibumu. Maafkan aku, Annastasia.”

Semua sudah jelas. Apa yang dipikirkan Annastasia sekarang sudah jelas. Ia tahu sekarang. Alasan ayahnya yang berburu lalu meninggal adalah kedok semata untuk meninggalkan Annastasia dan ibunya sendirian dan pergi bersama wanita impiannya. Juga ibunya, yang bunuh diri karena mengetahui kabar jika Antonio sudah memiliki keluarga sebelum mereka bertemu. Semuanya sudah jelas. Jika Antonio melakukan kejahatan terbesar dalam hidupnya. Yaitu bertemu dengan wanita lain, berbohong kepada Annastasia, dan membuat ibu Annastasia˗˗Irene Lyubov bunuh diri.

Tiba-tiba, ia teringat novel pemberian ayahnya. Crime and Punishment. Di mana seseorang melakukan kejahatan, maka seseorang itu harus mendapatkan hukuman. Annastasia mengeluarkan pistol colt pemberian Grisha. Menodongkan pisau itu tepat ke arah ayahnya. Dengan kebencian yang memenuhi hatinya, ia tidak gemetaran ketika memegang pistol.

Dulu, ia sangat berharap jika ayahnya masih hidup. Kini, ia merubah pikiran tersebut. Ia berharap, jika ayahnya sudah mati saat itu juga. Kebencian menutup hatinya. Crime and Punishment. Saat ini, ia bersiap menghukum ayahnya.

Grisha yang ada di sampingnya menarik Annastasia ke belakang. Annastasia yang bersiap menembak, terganggu oleh Grisha. Grisha menekuk bibirnya. “Aku mohon Annastasia. Sadarlah. Janganlah kau menghukumnya. Kau berjanji akan ikut denganku bukan? Hentikanlah!”

Annastasia tetap tidak bergeming. Ia masih bisa menodongkan pisau ke arah Antonio. Ia berusaha memberontak dalam dekapan Grisha.

“Aku mohon Annastasia. Hentikanlah! Baiklah, bisakah kau turunkan pistolmu? Aku berjanji, akan menghukumnya. Aku berjanji, Annastasia.”

Seketika Annastasia terdiam. Ia dapat mendengarkan apa yang dikatakan Grisha. Ia menurunkan pistolnya. Tapi, ia masih benci kepada ayahnya yang menyembunyikan semuanya. Ia berniat menghukumnya. Tapi, Grisha berjanji akan membalasnya. Annastasia mengikuti kata Grisha. Menyimpan pistol itu di bali baju.

“Annastasia, bisakah kau tunggu di luar? Aku berjanji, akan menghukumnya. Apapun itu. Bisa jadi, dia tidak salah, Annastasia.”

Annastasia menuruti kata Grisha. Dengan hati yang masih dipenuhi rasa kebencian terhadap Antonio, ia meninggalkan ruangan dan menunggu sebuah kebenaran.

*

Saat itu, Grisha merasa terpukul ketika melihat Annastasia kabur. Annastasia menghilang entah ke mana. Ia mencari gadis yang ia sayangi di mana-mana. Grisha menceritakan kebenaran kepadanya dan Annastasia berlari dengan seluruh kekesalannya.

Saat itu juga, Grisha berdiri di pinggir jembatan Moskwa. Annastasia menghilang. Grisha sudah putus harapan. Ia menghembuskan nafasnya. Menengok ke bawah sungai di bawah jembatan itu. Permukaan air sungai yang membeku karena musim dingin. Jika seseorang berenang di sana, sudah pasti ia akan mati kedinginan. Itulah yang dipikirkan oleh Grisha.

Grisha masih mengenang gadis itu. Berharap, Annastasia dapat memafkannya. “Maafkan aku, Annastasia. Aku tidak bisa menghukumnya. Aku lah yang berbuat kejahatan,” katanya lirih.

Crime and Punishment. Judul buku yang selalu dibaca Annastasia. “Maafkan aku, Annastasia. Takdir memang begitu kejam. Seandainya aku tak ditugaskan ke daerah itu. Seandainya aku tak menolongmu waktu pingsan. Seandainya aku tak mengajakmu pergi ke Moskwa. Seandainya aku tak mengajakmu untuk menemui seseorang. Seandainya aku tak memiliki perasaan itu.” Grisha menghentikan perkataannya. Ia menghela nafas panjang. “Seandainya aku tak bertemu adik perempuanku.”

Grisha berdiri di pinggir jembatan. Menatap permukaan air sungai yang diselimuti es tipis. Ia menghembuskan nafas panjang. Bersiap untuh melakukan semuanya. “Annastasia,” katanya lirih. “Aku akan menghukum diriku sendiri.”

Grisha melompat ke sungai yang dingin tersebut. Ia menghukum dirinya sendiri. Esoknya, warga Moskwa menemukan mayat Grisha mengambang di sungai dan Annastasia menghilang entah ke mana.